“Pertanian Diurus Serius Belum Tentu Berhasil, Apalagi Asal-Asalan”

by -

Baliinside.id – Tiga tahun sudah bergelut dengan Simantri 551 Angsoka Singaraja, namun sampai saat ini belum bisa memuaskan anggota. Banyak faktor yang menentukan keberhasilan Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) yang kini menjadi Sistem Pertanian Terpadu (Sipadu). Sebenarnya sistem ini sangat bagus dan memiliki peluang besar untuk memajukan pertanian di Bali, namun kondisi di lapangan membuat sistem ini belum bisa memenuhi harapan. Banyak faktor yang menyebabkan sistem ini terkendala. Dari ketersediaan pakan, SDM petani yang rendah, penerapan teknologi, hingga memasarkan hasil-hasil dari simantri.

Saat pandemi covid 19 banyak masyarakat bali yang mencoba peruntungan di pertanian setelah terpaksa pulang kampung karena “dirumahkan”. Saat ini toko-toko pertanian ramai-ramai didatangi para petani dadakan. Apakah ingin mendapatkan benih, bibit, pupuk, dan obat-obatan. Kemungkinan karena keterpaksaan sudah tidak ada pekerjaan lain selain bertani. Banyak masyarakat yang dulunya jadi pegawai hotel atau pekerjaan yang berkaitan dengan pariwisata pulang kampung untuk menggarap tanah warisan yang masih tersisa untuk ditanami.

Dalam pikiran masyarakat awam menganggap pekerjaan bertani adalah pekerjaan yang paling mudah. tinggal beli bibit tanam ingat menyiram, memupuk, pasti akan mendapatkan hasil. Iya benar kalau hanya untuk bertahan hidup. Kalau berpikir hanya untuk tanam sayur, kangkung, bayam , terung untuk dipetik pakai sayur untuk menyambung hidup di masa pandemi ini. Mereka tidak tahu bahwa bertani di jaman kekinian tidaklah mudah apalagi ingin menjadikan pertanian sebagai penghidupan.

Bali membutuhkan petani cerdas. Cerdas dalam merekayasa faktor-faktor yang menjadi kelemahan pertanian. Ada banyak kelemahan produk pertanian yang membuat masyarakat enggan menjadi petani. Pertama, volumnois artinya produk pertanian itu volumenya besar namun hasilnya murah. Contohnya menjual sayur hijau diangkutnya pakai pick up namun duitnya gak cocok dengan jumlah barangnya.

Kedua, produk pertanian itu cepat sekali busuk. Jika tidak segera sampai ke tangan konsumen maka produk pertanian akan menjadi sampah, Ketiga, produk pertanian ukurannya tidak seragam. Pasti ada grade ABCD. Jika tidak memenuhi grade yang diinginkan pengepul atau konsumen maka produk itupun akan menjadi sampah kalaupun dapat dijual maka harganya akan murah, dan yang paling lemah dari bertani adalah produk pertanian sangat tergantung pada agroklimat (iklim dan cuaca).

Bali memerlukan petani bermental baja. Bagi generasi muda yang serius ingin bertani haruslah punya kemampuan fisik dan mental yang kuat ditambah intelegensia yang tinggi. Lalu model pertanian apa yang cocok untuk Bali terlepas apakah pariwisatanya pingsan, mati suri ataupun mati.

Model pertanian yang bisa membangun Bali adalah model pertanian yang membangkitkan produk unggul Bali. Seperti apa idenya? Pemerintah harus bisa mendata potensi produk bali yang bernilai ekonomi tinggi. Prinsipnya nanam sedikit duitnya banyak. “Buduh” memang, tapi yang gila dan fokus ini yang akan memberikan manfaat yang besar bagi pembangunan pertanian bali. Kita sering tidak fokus dalam membangun pertanian seperti pepatah ” Sekadi capunge mekonceng” alias asal-asalan.

Produk apa sih yang hebat dari Bali dan harus fokus menanamnya? Banyak sekali sekali sebenarnya yang kita miliki dan daerah lain tidak miliki. Dari tanaman pangan hingga hiltikultura. Misalnya beras bali sudaji, beras merah jatiluwih, sayuran di bedugul, bawang di songan bangli, salak sibetan, durian bestala, rumpul laut nusa penida, kopi catur, kakao negare. asparagus petang, cabai gianyar, jagung seraya dan banyak lagi.

Namun produk produk itu kenapa belum bisa mendunia seperti kopi catur? Kalau gak cerdas petani kita mana mungkin bisa mengemas produk produk itu menjadi income yang tinggi. Bagaimana peran simantri mendukung “The Power of Focus” produk pertanian Bali tersebut?

Simantri yang tersebar di seluruh Bali bisa sebagai penyedia nutrisi atau pupuk organik yang bermutu untuk tanaman tanaman yang spesifik lokasi tersebut. Dengan pupuk organik yang bermutu maka kualitas produk-produk tersebut akan berkelas internasional. Masalahnya adalah pupuk yang dihasilkan dari simantri masih bahan mentah tanpa proses fermentasi yang baik. Bahan baku pupuk organik padat dan cair berlimpah tinggal dibutuhkan teknologi untuk mengolahnya. Pemerintah yang mestinya membantu penyediaan sarana dan prasarana ini.

Menghasilkan produk pertanian bali harus didukung dengan teknologi. Dari benih dan bibit, irigasi kabut ataupun tetes, hingga kemasan. Jangan berharap sukses bertani jikalau masih konventional di jaman kekinian. Bila perlu dari tanam hingga panen sudah menggunakan teknologi.

Petani Bali harus berkorporasi menjadi perusahaan tani. Semestinya ada Perusahaan Beras Merah Tabanan, Perusahaan Popcorn Seraya, Perusahaan Pertanian Rumput Laut Nusa Penida dan lain sebagainya.

Maka dari itu Bali membutuhkan anak muda generasi petani Bali yang cerdas dan melek teknologi. perlu kreatifitas dalam bertani di Bali. Dana desa semestinya dipakai membangun perusahaan pertanian khususnya produk yang spesifik lokasi. Jika segala daya upaya difokuskan membangun perusahaan tersebut maka pasti pertanian Bali akan maju.

Penulis :
Dr. I Gede Setiawan Adi Putra, SP., MSi
Pembina Simantri 551 Angsoka Singaraja dan Akademisi Fakultas Pertanian, Universitas Udayana