Opini: Hery Indrawan
Denpasar, baliinside.id – Fenomena hoaks saat ini menjadi hal yang lumrah mengiringi peristiwa dalam kehidupan sehari-hari maupun momentum yang melibatkan banyak orang. Penetrasi media sosial yang makin gampang diakses oleh semua orang melalui smartphone membuat hoaks gampang merebak. Seringkali pula dengan kesengajaan untuk membuatnya menjadi viral demi keuntungan tertentu.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks diartikan sebagai informasi yang dibuat-buat atau direkayasa untuk menutupi informasi yang sebenarnya. Dalam pengertian ini terkandung upaya pemutarbalikan fakta menggunakan informasi yang seolah-olah meyakinkan akan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya.
Ketua Komunitas Masyarakat Indonesia Anti Fitnah, Septiaji Eko Nugroho seperti dilansir oleh Gramediablog menjelaskan, hoaks adalah tindakan mengaburkan sebuah informasi yang benar. Caranya yaitu dengan membanjiri suatu media, melalui pesan-pesan yang salah. Hal tersebut mengakibatkan pesan yang benar akan tertutupi.
Belajar pada kejadian Pemilu sebelumnya, Pemilu 2024 sudah pasti akan menjadi ajang kompetisi dan kontestasi politik dari para pesertanya dimana media sosial akan media alat yang penting. Seiring dengan itu pula kemunculan hoax menjadi keniscayaan yang sulit dielakkan.
Media sosial telah menjadi alat kampanye yang mudah dan murah dan lebih sulit diatur serta terjangkau oleh pengawasan penyelenggara Pemilu. Apalagi dengan adanya kemungkinan pembuatan akun bayangan atau pun akun palsu tanpa identitas asli yang sulit dilacak.
Mafindo juga mencatat, Facebook masih menjadi platform media sosial yang paling banyak digunakan untuk menyebarkar hoaks. Twitter dan WhatsApp berada di bawahnya, namun dalam jarak cukup jauh. Sebagai contoh, pada Januari 2019, 49.54 persen hoaks ada di Facebook, 12,84 persen di Twitter dan 11, 92 persen melalui WhatsApp.
Hoaks Dimasa Pemilu
Kampanye hitam alias black champaign dengan menggunak hoaks menjadi taktik yang paling populer di masa pemilu. Hoaks semacam ini digunakan untuk menjatuhkan pihak pesaing dengan memberinya citra yang buruk di mata masyarakat sehingga mempengaruhi tingkat elektabilitasnya.
Pada pemilu 2019 misalnya, seperti diurai oleh situs bbc.com, hoaks tentang Jokowi yang saat itu menjadi capres banyak dikaitkan dengan isu keturunan Cina, anti Islam dan punya hubungan dengan PKI. Sementara, figur Prabowo sering dikaitkan dengan isu pendirian khilafah di Indonesia.
Terkait dengan Pemilu 2019, sempat pula terjadi hoaks yang mengguncang dunia politik dimana tokoh publik Ratna Sarumpaet yang menjadi pendukung salah-satu calon mengaku telah menjadi korban penganiayaan. Belakangan kemudian terungkap, kondisi yang mirip luka-luka di wajahnya adalah karena operasi plastik.
Selain kampanye hitam, hoaks pun sering digunakan untuk mendeligitimasi penyelenggaraan pemilu dengan menyebarkan informasi yang tidak tepat sehingga masyarakat meragukan hasil pemilu.
Salah-satunya adalah hoaks pada Pemilu 2019 mengenai penemuan tujuh kontainer di pelabuhan Tanjung Priok yang memuat surat suara yang sudah dicoblos. Dikabarkan pula, di dalamnya terdapat 10 juta surat suara pemilihan presiden di setiap kontainer, yang sudah tercoblos untuk nomor urut 1, yaitu pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.
Terlepas dari dampaknya pada elektabilitas calon, penggunaan hoaks memiliki dampak jangka panjang pascapemilu dimana perpecahan sosial akan terus bertahan. Bahkan ketika elit-elit politik sudah bisa berdamai dan berbagi kekuasaan. Fenomena dimana masih ada sebutan seperti kelompok cebong dan kampret, kadal gurun (kadrun), dan lain-lain adalah sisa-sisa benturan antar kelompok di masa pemilu.
Mengatasi Hoaks di Masa Pemilu
Keberadaan hoaks di masa pemilu sudah seharusnya menjadi perhatian bersama dan khususnya oleh Badan Pengawasan Pemilu. Bukan hanya hoaks dalam skala nasional, tapi juga hoaks dalam skala lokal. Deteksi dini melalui pengawasan media sosial bisa dilakukan melalui berbagai kerjasama dengan komunitas-komunitas yang memiliki kepedulian kepada isu ini.
Masyarakat perlu mendapatkan literasi mengenai keberadaan hoaks. Berbagai pihak pun telah mengembangkan cara-cara untuk lebih sensitif terhadap kemungkinan hoaks. Termasuk dari platform google yang telah dilengkapi dengan berbagai tools alat melakukan cek fakta. Selain itu, sejumlah media juga mengembangkan rubrik khusus bernama cek fakta yang juga telah dibuat oleh Kementerian Kominfo.
Adapun secara sederhana siapa saja bisa melakukan pengecekan dengan langkah-langkah. Pertama, lakukan cek silang jika menemukan judul berita atau konten yang provokatif atau berlebihan. Apakah hal yang sama juga muncul di media lain, khususnya media yang sudah memiliki kredibilitas. Cek silang bisa dengan mudah dilakukan memanfaatkan mesin pencari seperti di google search dan yang lainnya.
Alamat situs web atau pun akun yang memuat informasi seringkali juga merupakan indikasi dari penyebaran hoaks. Akun-akun resmi yang jelas penanggungjawabnya akan lebih mudah dilacak pertanggungjawabannya. Khususnya sumber-sumber yang otoritatif yang merupakan lembaga resmi. Pengecekan kebenaran juga bisa dengan melihat foto atau videonya yang dibagikan. Google pun telah menyediakan sarana pengecekan melalui Google Images.
Selain langkah-langkah itu, literasi masyarakat juga harus meliputi perubahan kebiasaan-kebiasaan buruk seperti buru-buru membagikan informasi tanpa verifikasi. Seringkali dengan tujuan positif karena informasi itu dianggap bermanfaat bagi komunitasnya. Kadangkala hanya karena keinginan dianggap sebagai orang yang paling pertama mengetahui.
Masyarakat juga harus didorong untuk berani memberikan laporan mengenai konten hoaks khususnya yang berpotensi menimbulkan konflik di akar rumput. Pengaduan misalnya ke email ke aduankonten@mail.kominfo.go.id. Terkait dengan hal ini, pihak Bawaslu mestinya bertindak pro aktif untuk memberikan literasi dan menyediakan sarana guna menampung informasi dari publik. Dalam posisinya sebagai institusi resmi Bawaslu dapat meminta klarifikasi bila ditemukan adanya peserta Pemilu yang terindikasi menggunakan hoaks dalam melakukan kampanye.